Senin, 20 Agustus 2012

Kondisi Fisikku Bikin Orang Anggap Aku Sakit

http://www.koran-o.com/2012/lelakon/kondisi-fisikku-bikin-orang-anggap-aku-sakit-26836

Kondisi Fisikku Bikin Orang Anggap Aku Sakit

| |
Risma Wira Bharata, 24, cukup detail menceritakan kisah hidupnya yang memilukan dengan judul tulisan Aku Bagaikan Siput Nabi Nuh melalui email kepada Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). Remaja kelahiran 30 April 1988 ini mengibaratkan dirinya laksana siput Nabi Nuh yang hanya mampu berjalan dengan sangat pelan. Namun dengan kegigihannya bisa mencapai bahtera dengan selamat.
Tulisan itu menceritakan ia sejak kecil tidak mampu berjalan dengan cepat dan harus sedikit jinjit dan sempoyongan. Gangguan syaraf ditubuhnya juga membuat dia tidak bisa menulis dengan baik. Kendati demikian, Mimo, sapaan akrab Risma gigih dalam mengarungi dunia pendidikan hingga sekarang tercatat sebagai mahasiswa S-2 UGM. Meski dalam perjalanan tak jarang banyak pihak yang meremehkan kemampuannya.
“Saya bercerita dan menulis tentang riwayat kehidupan ini dengan menangis. Menangis haru saja, saya merasa kasihan pada orangtua yang sudah banyak berjuang untuk saya. Saya sudah berkonsultasi dengan kiai dan ustaz, mereka semua menilai bahwa kisah hidup saya ini bukanlah aib, namun berisi pelajaran yang bisa dipetik bagi orang lain,” ungkap Mimo membuka cerita saat didatangi JIBI di rumahnya Dusun Jeruksari, Wonosari Gunungkidul, Jumat (3/8) pagi.
Mimo tampak tak seimbang saat berjalan. Saat berbicara kalimat yang ia ucapkan kadang tidak utuh terdengar. Tangannya kerapkali tak bisa berkonsentrasi manakala akan dipergunakannya untuk menulis. Kendati begitu Mimo berusaha tampil sebagai sosok yang ceria, ia selalu tersenyum. Ia juga terlihat rapi dalam berpakaian.
Selain itu remaja itu juga tekun. Ketekunan itu ia buktikan dengan adanya setumpuk artikel hasil karyanya. Ucapannya memang sedikit terganggu namun cukup mudah dimengerti lawan bicaranya.
Menurut Mimo, akibat kondisi fisik yang dialaminya sejak kecil itu ia kadangkala mendapat perlakukan khusus sekaligus dianggap sebagai orang yang membutuhkan pertolongan dengan sebutan orang sakit. Mimo selalu legawa dengan sebutan itu dan ia sama sekali tidak merasa sakit hati, meski sedikit malu.
“Istilah sakit sering diucapkan kondektur bus untukku. Saat saya mau turun, bus kondektur sering teriak, awas-awas orang sakit, pelan-pelan saja. Padahal di bus juga banyak penumpang dan mereka terus melihat ke arah saya. Itu saja tidak dalam artian kasar tapi ya dalam hati saya malu, masih muda kok sudah huyak-huyuk kurang seimbang jalannya. Tapi Wallahu Alam, hanya Allah-lah yang mengetahuinya karena Allah yang memilikiku,” terang Mimo.
Pagi itu Mimo sendirian di rumah. Kedua orangtuanya, Sumaryono dan Dwi Ismiyati tengah pergi dinas harian. Ia kembali berusaha membuka serpihan mozaik dalam kehidupannya di masa lampau. Pikirannya menerawang jauh saat dia masih kecil. Cerita yang paling membuatnya harus mengeluarkan air mata yakni kegigihan orang tuanya membawanya ke tempat terapi setiap pekan. Tujuannya hanya satu, kata dia, untuk membesarkan hatinya dan juga agar ia bisa berjalan normal.
Orang tua Mimo sempat membawanya ke dokter anak di Basen, Kotagede, Jogja. Kemudian disarankan ke fisioterapi Bulaksumur UGM. Selama hampir 18 tahun selalu menjalani fisioterapi di kawasan UGM tersebut. Sepulang kantor, orang tua Mimo selalu mengajaknya ke fisioterapi dengan naik bus karena belum memiliki kendaraan roda empat. Tak jarang jika pulang terlalu larut malam bus Jogja-Wonosari sudah tidak ada dan terpaksa mencegat mobil atau motor yang mau ke Wonosari. “Hujan panas tidak membuat kami mengeluh. Alhamdulillah saya diberi orangtua yang sangat luar biasa. Padahal saya hanya anak tunggal. Coba apa yang bisa dibanggakan dari anaknya. Tetapi orangtuaku tidak pernah sekalipun mengeluh. Walaupun harus susah payah,” ujarnya.
Ciptaan Tuhan
Saat memasuki bangku pendidikan tak jarang Mimo juga mendapat ejekan teman terutama saat SD ia sempat dicemooh karena keterbatasan fisik. Mimo mengaku sebagai manusia normal sebenarnya ia sakit hati, namun bersyukur masih mampu meredam rasa sakit hati itu. Justru cemoohan itu dijadikannya sebagai api untuk membakar semangat agar semakin berkobar dalam menjalani hidup.
Ia sendiri tidak setuju ketika dikatakan sebagai orang cacat. Baginya mengatakan cacat sama halnya tidak menghargai ciptaan Tuhan. Terlebih di hadapan Tuhan, manusia menjadi sangat berharga bukan dari penilaian fisik melainkan keimanan dan ketaqwaannya.
“Ada teman saya SD bicaranya sangat kasar. Dia bilang saya anak cacat, tidak pantas sekolah di sekolah favourit, pantasnya di SLB dengan teman-teman yang juga cacat kayak saya. Saya masih ingat betul itu,” ujarnya.
Mimo mengatakan usia SD adalah yang paling berat baginya karena belum banyak teman yang mau bergaul dengan dirinya. Selain itu kemampuannya untuk menguasai kompetensi pelajaran juga tergolong rendah karena belum mampu menulis. “Kata guru SD, saya itu bodoh karena nulisnya lambat sehingga untuk ujian dan menulis catatan tidak pernah rampung,” ungkapnya.
Untuk mengejar ketertinggalan itu ia harus menjalani les privat sampai malam hari. Ia tergolong minim bermain keluar rumah. Perlahan tapi pasti Mimo mampu mengejar ketertinggalan di bangku SD, bahkan sedikit demi sedikit ia sudah memiliki teman karena kemampuannya yang terus digali. Ia tidak saja dibantu secara materi oleh kedua orangtuanya. Akan tetapi juga moril dan spiritual, pasalnya jika akan menghadapi ujian kedua orangtuanya selalu berpuasa.
“Ada teman yang bilang kamu enak kalau mau ujian sudah dipuasain sama orangtua, dia harus puasa sendiri katanya. Alhamdulillah, akhirnya nilai ebtanas murni SD saya tertulis 41,90, nilai yang bagus. Terkejut dan terharu kami semua,” kata Mimo yang pernah menderita flek saat usia dua tahun ini.
Sunartono(sunartono@harianjogja.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar